Sabtu, 06 Juni 2009

Buku harian seorang tentara...

Buku Harian Seorang Tentara…
Oleh: Narendra Hutomo

Tak seperti yang aku banyangkan,
Hari ini bukan seperti hari-hari biasa…
Pada pagi hari kita terbangun dalam keadaan basah terguyur hujan,
Terdengar pula suara-suara yang tidak biasa kita dengar...
Betapa bedanya susana hari ini dengan hari-hari sebelumnya...

Jalan raya yang kita tempuh sehari-hari berupa ladang ranjau yang meregut nyawa kita satu demi satu,
Udara pada pagi hari yang sejuk nan segar berupa tempat di mana benda-benda terbang bertempur dan berjatuhan berkobarkan api dan asap hitam tebal bagai burung yang mati tertembak sang pemburu...
Air mancur pada taman tergantikan dengan tumpah darah orang-orang tak bersalah yang terpaksa ikut perang sebagai sukarelawan, maupun sebagai korban pembantaian masal bahkan penyiksaan ...
Neraka dan dunia telah menyatu begitu mudah tanpa ada campur tangan tuhan atau pun para dewa-dewa...
Ooh, betapa kejamnya dunia ini!

Berlin sampai dengan Stalingrad, tahun seribu sembilan belas empat lima,
Indonesia merdeka, kita masih terus bertempur sampai titik darah penghabisan...
Vietnam sampai Korea, tahun seribu sembilan belas enam tujuh,
Uni Soviet tercipta merdeka, kita masih terus memerangi komunisme…
Apakah arti kehidupan memaksa kita untuk selalu membunuh?
Kita pun yang setiap harinya terlatih memegang senjata, bahkan dengan tangan kosong untuk membunuh tidak tahu apa jawaban yang tersembunyi dibalik batu tersebut…

Dari perang dunia sampai pemberontakan besar-besaran…
Beda dunia,
Beda negara,
Beda waktu,
Beda tokoh,
Beda divisi,
Semua mempunyai kisahnya masing-masing...

Sejauh ini, sebenarnya ini baru saja permulaan dari perjalanan menuju surga...
Malaikat-malaikat maut masih menunggu dibalik tiang-tiang jalanan ke rumah Tuhan tersebut...
Pagi hari bukan lah sekedar bangun untuk membaca koran dan meneguk segelas kopi...
Pagi hari adalah yang terparah dari yang terparah...
Kadang kita bangun dengan tatapan muka teman kita yang berceceran dengan darah...
Tahukah apa yang sedang terjadi?
Kita terbangun dalam sebuah baku tembak yang tidak ada habisnya sampai maut menjumput kita...
Muka teman kita yang baru saja kita tatap dan baru saja kita kenal, tertembak tepat dikepala oleh penembak jitu dengan begitu gampangnya bagai mematahkan sebuah lidi...
Kita pun bergegas mengambil tingkah untuk mempertahankan diri kita dan mencoba untuk selamat,
dan yang paling penting: Terbangun dari mimpi buruk ini dengan selamat.
Ratusan peluru pun termuntahkan dari senapan kita,
Berbunyi bagai bel yang tergantung pada leher sapi...
Hal tersebut akan terdengar merdu jika itu sudah merupakan kebiasaan sehari-hari...

Tanpa kita sadari, kita telah membantai rasa marah dan ketakutan kita akan kematian dengan mata tertutup bagai orang buta yang berlari menyebrangi jalanan...
Ratusan mayat telah jatuh dengan butiran peluru yang menempel pada mereka,
dan itu hanya hal biasa; Merekalah yang beruntung.
Mereka yang tidak beruntung?
Nyawa mereka tercabut dengan kaki dan tangannya yang lepas dari tubuhnya, bahkan kepala yang terpental jauh dari badan akibat ledakan bom bagai tembakan meriam...

Setelah perjalanan yang melelahkan, sampailah kita pada hadapan Tuhan...
Burung-burung raksasa yang terbuat dari besi dengan baling-baling telah datang menjemput kita,
Dan juga teman-teman kita yang terluka bahkan yang sudah tidak bernyawa…
Kita pun berakata, “Tuhan memberkati kami…”.
Betapa beruntungnya kita telah terbangun dari mimpi buruk ini yang telah menyiksa diri kita tanpa belas kaih...

Tak lama kemudian, terdengar sorakan-sorakan gembira…
"Sang pahlawan telah datang!"
Bagi yang tidak selamat, canda tawa bukan lah sebuah pilihan…
Bertemu dengan keluarga merupakan hal terhangat bagai memeluk boneka beruang…
Sayangnya, kita pun melihat mereka yang putus asa karena, anak, adek, kakak, mereka tidak kembali dari neraka dunia yang mereka lewati untuk mencapai sebuah perdamaian…

Tanpa basa-basi, kesimpulan dari semua ini: Tidak ada yang ingin menjadi pahlawan…
Inilah buku harian seorang tentara...
Beda tempat, beda waktu, beda tokoh, beda divisi, pada akhirnya…
Cerita yang sama...

Penulis,


Narendra Hutomo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar